Selasa, 24 Jun 2025
  • SELAMAT DATANG di Official Site SMA Negeri 1 Taman Sidoarjo Jawa Timur

Mewujudkan Mimpi Perempuan Lewat Pendidikan Inklusif dan Berkeadilan

Oleh : Kharisma Kirana Kusuma Fanani

Kelas XI F10
Pemenang Smanita Brain Battle Tahun 2025

Pendidikan merupakan hak dasar seluruh kalangan masyarakat tanpa memandang jenis kelamin, ekonomi, jabatan, ataupun latar belakang. Hal tersebut merupakan cara kemanusiaan terwujud dalam pendidikan. Namun, pada kenyataannya tidak semua orang dan golongan dapat merealisasikan hal tersebut, salah satunya di Indonesia. Perbedaan akses pendidikan yang didapatkan oleh golongan laki-laki dan perempuan di Indonesia menjadi permasalahan serius yang dapat menghambat terwujudnya pendidikan yang layak bagi seluruh kalangan masyarakat. Dalam kerangka Sustainable Development Goals (SDGs) atau Tujuan Pembangunan Berkelanjutan terutama pada poin ke 5 (Kesetaraan Gender), poin ke 4 (Pendidikan Berkualitas) dan poin ke 10 (Berkurangnya kesenjangan) pendidikan bagi perempuan memiliki peran yang cukup penting dalam mendorong kemajuan individu ataupun kelompok.

 Pendidikan memiliki dampak yang signifikan dalam aspek kehidupan, salah satunya pendidikan untuk perempuan. Dengan adanya pendidikan untuk perempuan membuat mereka memiliki kesempatan lebih besar untuk bekerja, memperoleh penghasilan dan berkontribusi dalam pembangunan. Selain itu, pendidikan dapat mempengaruhi kualitas generasi selanjutnya. Seorang ibu yang mendapatkan pendidikan akan cenderung lebih menyadari tentang pentingnya kesehatan, gizi pangan dan pendidikan anaknya, sehingga terdapat kemungkinan untuk memutus rantai kemiskinan antargenerasi dan tingkat kriminalitas pada suatu daerah.

 Lebih dari sekedar segi ekonomi, pendidikan juga menjadi alat penunjang bagi perempuan. Melalui pendidikan, perempuan dapat lebih mengenal hak mereka, berpikir kritis, berani berpendapat dan dapat mengambil peran dalam pengambilan keputusan dalam keluarga, komunitas, bahkan politik. Sehingga perempuan dapat lebih memperkuat posisinya untuk menentang adanya diskriminasi dan kekerasan terhadap perempuan serta pernikahan sejak dini ataupun dengan cara dijodohkan yang menjadi tantangan untuk beberapa daerah di Indonesia.

 Meski kesetaraan gender sudah meningkat secara signifikan, namun diskriminasi gender masih sering terjadi di beberapa wilayah di Indonesia. Terutama pada daerah dengan tingkat kemiskinan yang tinggi serta budaya patriarki yang kuat. Salah satu yang sering menjadi sorotan adalah budaya pada masyarakat Jawa yang mengedepankan budaya patriarki dalam pernikahan. Beberapa daerah di Indonesia masih menganggap perempuan tidak perlu menempuh pendidikan yang terlalu tinggi karena mereka menganggap perempuan hanya berakhir menjadi ibu rumah tangga.

 Selain itu, faktor ekonomi juga menjadi salah satu penyebab yang sering membuat keluarga lebih memilih menyekolahkan anak laki-laki daripada anak perempuan karena anak laki-laki dianggap bisa lebih membantu dalam urusan ekonomi dan anak perempuan hanya diarahkan untuk membantu urusan rumah tangga bahkan dinikahkan pada usia muda untuk menjamin kesejahteraan keluarga perempuan. Laporan UNICEF dan BPS menunjukan bahwa pernikahan dini masih banyak dilakukan di IndonesiaDalam laporan komnas perempuan mencatat, pada tahun 2021, ada sebanyak 59.709 kasus pernikahan dini yang ada diberikan dispensasi oleh pengadilan.

 Patriarki di masyarakat seluruh dunia terus menyebar, tak terkecuali di Jawa. Walaupun di zaman modern patriarki sudah tidak relevan, namun masyarakat Jawa masih meneruskan budaya ini secara turun temurun. Hal ini ditunjukkan berdasarkan kekuatan otot pria yang lebih pantas untuk bekerja, sedangkan perempuan melakukan peran biologis yakni melahirkan anak serta mengurus pekerjaan rumah. Pembagian kerja ini menimbulkan peran-peran terbatas bagi kedua jenis kelamin dan terciptanya perbedaan kekuasaan dalam beberapa hal yang menguntungkan kaum laki-laki.

Jika dilihat dari skala global, UNESCO mencatat bahwa jutaan anak perempuan di dunia masih tidak dapat mengakses pendidikan yang layak, terutama di negara-negara berkembang. Hal ini disebabkan oleh tingkat kemiskinan yang tinggi, jarak sekolah yang jauh, kurangnya tenaga pengajar perempuan hingga kekerasan berbasis gender menjadi tantangan utama bagi perempuan untuk mendapatkan pendidikan dasar yang layak. Hal ini membuktikan bahwa pendidikan yang layak untuk perempuan masih perlu diperhatikan dalam skala internasional.

Di Indonesia sendiri sudah ada beberapa implementasi untuk mewujudkan kesetaraan gender tersebut. beberapa kebijakan seperti Program Indonesia Pintar (PIP), beasiswa, Program Afirmasi Pendidikan untuk perempuan serta revisi kurikulum dan materi pendidikan untuk menghilangkan steorotip perbedaan gender sehingga menciptakan lingkungan yang adil bagi semua siswa. Ada juga kebijakan di Indonesia berupa undang-undang dan peraturan sebagai berikut: (a) Undang-Undang Republik Indonesia No. 7 tahun 1994 tentang Pengesahan Konvensi Mengenai Penghapus Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Wanita (Convention on the Elimination of All Formes of Discriminations Againts Women). (b) Undang-Undang Republik Indonesia No. 34 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Dalam pasal 48 Undang-Undang dikatakan wanita berhak untuk memperoleh pendidikan sesuai dengan persyaratan yang telah di tentukan. Pasal 60 ayat (1) menyatakan setiap anak berhak untuk memperoleh pendidikan dan pengajaran dalam rangka pengembangan pribadinya sesuai  dengan minat, bakat dan tingkat kecerdasannya.

 Untuk merealisasikan serta mewujudkan pendidikan yang adil dan dan setara untuk perempuan, perlu adanya beberapa tindakan kolaboratif antara pemerintah, lembaga pendidikan dan masyarakat. Pertama, melakukan kebijakan serta program khusus yang mendorong akses dan partisipasi perempuan dalam pendidikan di semua jenjang. Dengan begitu, perempuan juga bisa mendapatkan pendidikan yang adil dan setara dengan laki-laki.

Kedua, dilakukan sosialisasi kesadaran masyarakat untuk menghapus stigma bahwa perempuan tidak perlu sekolah tinggi dan hanya untuk di dapur saja. Perubahan pola pikir orang tua menjadi langkah penting untuk membebaskan anak perempuan dari tekanan sosial yang membatasi potensinya. Dengan begitu, Pola pikir seperti ini bisa diputus dan tidak berlanjut ke generasi selanjutnya.

Ketiga, penyediaan lingkungan belajar yang aman, nyaman dan ramah untuk semua gender. Sekolah harus menjadi tempat yang bebas dari diskriminasi dan kekerasan, termasuk menyediakan fasilitas yang layak bagi siswi agar mereka tidak enggan untuk berangkat ke sekolah.

Keempat, adanya pembelajaran berbasis gender harus dimasukkan ke dalam kurikulum supaya nilai kesetaraan bisa tertanam sejak dini kepada seluruh siswa, baik laki-laki ataupun perempuan. Dengan begitu, generasi selanjutnya dapat mengetahui dan tumbuh budaya menghormati hak dan peran perempuan.

Pendidikan bagi perempuan bukan hanya persoalan hak asasi manusia, tapi juga merupakan kunci untuk mewujudkan pembangunan yang adil dan berkelanjutan. Melalui pendidikan, perempuan dapat memaksimalkan potensi mereka dan turut mengambil peran untuk melakukan hal yang positif bagi keluarga, masyarakat dan negara. SDG 5 tidak akan tercapai tanpa komitmen nyata dalam menjamin bahwa setiap perempuan memiliki kesempatan yang sama untuk belajar, berkembang, dan memimpin. Maka dari itu, perjuangan untuk pendidikan perempuan bukan hanya tanggung jawab kaum perempuan semata, melainkan tugas bersama seluruh elemen bangsa.

KELUAR