oleh : Yupiter Sulifan, Guru BK SMA Negeri 1 Taman
Perkembangan teknologi digital telah membawa perubahan besar dalam cara manusia berinteraksi, termasuk dalam hal berbagi perasaan dan mencari solusi atas masalah pribadi. Kini, muncul fenomena menarik: semakin banyak remaja yang memilih curhat kepada kecerdasan buatan (AI) seperti ChatGPT, Cici, atau aplikasi sejenis, ketimbang berbicara kepada orang tua, guru, atau bahkan teman dekat. Fenomena ini tidak hanya menunjukkan perubahan pola komunikasi, tetapi juga menggambarkan pergeseran kepercayaan dan kebutuhan emosional generasi muda di era digital.
AI, Teman Virtual yang Selalu Ada
Bagi sebagian remaja, berbicara dengan AI terasa lebih aman dan bebas. Mereka bisa mencurahkan isi hati tanpa takut dihakimi atau dimarahi. AI dianggap sebagai pendengar yang netral, sabar, dan selalu tersedia kapan saja. Tidak seperti manusia yang bisa lelah, sibuk, atau emosi, AI memberikan respons dengan tenang, sistematis, dan terkadang terasa lebih pengertian di mata pengguna muda.
Remaja juga hidup di dunia yang serba cepat dan penuh tekanan tuntutan akademik, pergaulan sosial, hingga tekanan dari media sosial yang sering membuat mereka merasa tidak cukup baik. Dalam kondisi seperti itu, AI menjadi tempat pelarian yang praktis. Hanya dengan mengetik beberapa kalimat, mereka bisa mendapatkan tanggapan instan, kata-kata menghibur, bahkan saran yang terdengar rasional.
Mengapa Remaja Enggan Curhat ke Orang Lain?
Ada beberapa alasan mengapa remaja kini lebih nyaman curhat kepada mesin. Pertama, ketakutan akan penilaian (judgement). Banyak remaja merasa bahwa ketika mereka bercerita kepada orang tua atau guru, mereka akan langsung disalahkan atau dinasihati tanpa benar-benar didengarkan. Sementara AI tidak menilai ia hanya merespons berdasarkan apa yang dikatakan.
Kedua, kurangnya komunikasi terbuka di lingkungan keluarga dan sekolah. Tidak semua orang tua memiliki waktu atau kemampuan untuk mendengarkan anaknya dengan empati. Sementara guru, khususnya guru BK (Bimbingan Konseling), sering dianggap terlalu formal dan berjarak. Padahal, remaja membutuhkan ruang yang hangat, aman, dan tanpa tekanan untuk mengekspresikan diri.
Ketiga, AI lebih mudah diakses dan cepat merespons. Dalam hitungan detik, remaja bisa mendapatkan jawaban tanpa perlu menunggu jadwal konsultasi. AI tidak pernah sibuk, tidak merasa bosan, dan selalu tersenyum dalam setiap jawaban.
Sisi Positif: Ruang Ekspresi yang Aman
Fenomena ini tentu tidak sepenuhnya negatif. Dalam beberapa kasus, AI justru membantu remaja menenangkan diri dan menemukan sudut pandang baru terhadap masalah yang dihadapi. AI dapat berfungsi sebagai pendamping awal sebelum mereka benar-benar berani berbicara kepada orang lain.
AI juga bisa menjadi alat bantu dalam pendidikan emosional mengajarkan cara berkomunikasi, memahami emosi, dan mengelola stres. Ketika digunakan dengan bijak, AI dapat menjadi media terapi ringan yang membantu remaja lebih mengenal diri sendiri.
Ada Risiko yang Tak Boleh Diabaikan
Meskipun tampak menenangkan, curhat ke AI bukan tanpa risiko. AI bukan manusia ia tidak memiliki empati sejati, hanya meniru bahasa empatik berdasarkan data. Karena itu, ada potensi kesalahan pemahaman terhadap konteks emosional pengguna.
Selain itu, jika remaja terlalu bergantung pada AI, mereka bisa mengalami isolasi sosial. Mereka mungkin semakin jarang berinteraksi secara langsung dengan keluarga dan teman, sehingga kemampuan komunikasi interpersonal mereka menurun. Lebih jauh lagi, data pribadi yang mereka bagikan kepada AI bisa berpotensi disalahgunakan jika tidak dijaga keamanannya.
Peran Orang Tua dan Guru
Alih-alih melarang remaja berinteraksi dengan AI, orang tua dan guru perlu memahami bahwa fenomena ini adalah bagian dari perubahan zaman. Justru penting untuk *membangun kembali kepercayaan dan kedekatan emosional dengan anak.
Orang tua perlu menyediakan waktu mendengarkan anak tanpa langsung menilai atau memberi nasihat. Cukup menjadi pendengar yang hadir dan memahami, itu sudah bisa membuat remaja merasa dihargai. Sementara guru BK bisa mengubah pendekatan konseling menjadi lebih santai, terbuka, dan relevan dengan dunia digital remaja.
Sekolah juga dapat memanfaatkan AI secara positif dengan menjadikannya alat pendukung dalam program konseling. Misalnya, membuat platform digital tempat siswa bisa berbagi cerita awal sebelum ditindaklanjuti secara langsung oleh guru BK. Dengan begitu, teknologi menjadi jembatan, bukan pengganti hubungan manusiawi.
Menemukan Keseimbangan Baru
Pada akhirnya, AI hanyalah alat. Yang dibutuhkan remaja sebenarnya bukan sekadar jawaban, melainkan rasa diterima dan dipahami. Di sinilah peran orang tua, guru, dan masyarakat sangat penting untuk menciptakan lingkungan yang ramah, terbuka, dan mendukung kesehatan mental anak muda.
Fenomena remaja yang lebih senang curhat ke AI adalah sinyal bahwa mereka sedang mencari ruang aman untuk menjadi diri sendiri. Maka, tantangan bagi dunia pendidikan dan keluarga hari ini bukan untuk menolak teknologi, tetapi menemukan cara agar kemanusiaan tetap menjadi pusat dari setiap interaksi termasuk ketika teknologi turut hadir di dalamnya.
Komentar Terbaru