Oleh Aditya Zulmi Rahmawan, S.Pd, M.MB.
Guru Geografi SMA Negeri 1 Taman Sidoarjo
Pendidikan selalu menjadi pondasi utama dalam membangun peradaban, namun di tengah upaya mewujudkan pendidikan bermutu untuk semua, kita dihadapkan pada realita yang kompleks. Kesenjangan akses masih menjadi tantangan besar—bagaimana mungkin anak-anak di pelosok negeri harus belajar dengan fasilitas seadanya, sementara di kota besar teknologi canggih sudah menjadi hal biasa?
Pada tema Hari Pendidikan Nasional tahun ini mengusung Partisipasi Semesta Wujudkan Pendidikan Bermutu Untuk Semua. Pada tema tersebut tercipta menjadi sebuah gagasan yang menyerukan kolaborasi seluruh elemen masyarakat, seolah menjadi jawaban, tetapi apakah kita benar-benar siap bekerja sama tanpa ego sektoral? Pemerintah, swasta, komunitas, bahkan keluarga, semua memiliki peran, namun seringkali langkah mereka tidak sinkron, terpecah oleh kepentingan yang berbeda.
Revitalisasi pendidikan karakter juga menjadi sorotan, terutama di era di mana nilai-nilai kebangsaan dan moral seakan tergerus arus globalisasi. Kurikulum kita kerap dinilai terlalu menekankan aspek kognitif, sementara pembentukan sikap dan budi pekerti terabaikan. Apakah kita sudah cukup menggali kearifan lokal sebagai basis pendidikan karakter, atau justru terjebak pada formalitas belaka? Di sisi lain, relevansi kurikulum dengan kebutuhan zaman terus dipertanyakan—apakah materi yang diajarkan di sekolah benar-benar mempersiapkan siswa untuk menghadapi dunia kerja yang semakin kompetitif? Lulusan kerap dihadapkan pada jurang antara teori dan praktik, seakan sekolah hanya menjadi menara gading yang jauh dari realitas sosial dan ekonomi.
Teknologi seharusnya menjadi solusi, tetapi penggunaannya dalam pendidikan masih menyisakan paradoks. Di satu sisi, digitalisasi membuka pintu pembelajaran tanpa batas, memungkinkan siswa di daerah terpencil mengakses ilmu dari mana saja. Namun, di sisi lain, ketimpangan infrastruktur justru memperlebar jurang—bagaimana mungkin kita berbicara tentang pembelajaran daring jika listrik dan internet masih menjadi barang mewah bagi sebagian masyarakat? Selain itu, adopsi teknologi juga menuntut perubahan mindset guru dan siswa, yang tidak semuanya siap meninggalkan metode konvensional. Tantangannya bukan sekadar menyediakan gadget, melainkan memastikan bahwa teknologi benar-benar menjadi alat pemerdekaan belajar, bukan sekadar gimmick.
Peluang untuk mewujudkan pendidikan bermutu sebenarnya terbuka lebar jika kita mampu melihat tantangan sebagai momentum inovasi. Kolaborasi multipihak bisa mempercepat pemerataan akses, misalnya melalui program kemitraan dengan perusahaan teknologi. Pendidikan karakter bisa diperkuat dengan pendekatan yang lebih kontekstual, mengintegrasikan nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan sehari-hari, bukan hanya di buku teks. Sementara itu, kurikulum yang fleksibel dan berbasis proyek bisa menjadi jembatan antara sekolah dan dunia nyata. Teknologi, jika dimanfaatkan secara inklusif, bisa menjadi penyeimbang yang mempersempit kesenjangan, asalkan pemerintah serius membangun infrastruktur digital hingga ke daerah tertinggal.
Namun, semua itu kembali pada pertanyaan mendasar: seberapa besar komitmen kita sebagai bangsa untuk benar-benar memprioritaskan pendidikan? Partisipasi semesta hanya akan menjadi slogan jika tidak diikuti aksi nyata. Setiap kebijakan harus berpijak pada keadilan, setiap inovasi harus menyentuh mereka yang paling membutuhkan, dan setiap langkah harus diukur dampaknya bagi generasi mendatang. Pendidikan bermutu bukanlah mimpi yang mustahil, tetapi ia membutuhkan keberanian untuk mengakui kelemahan sistem saat ini dan kemauan untuk berubah bersama. Jadi, bisakah kita mewujudkannya, atau kita akan terus terbelenggu dalam wacana?.
Komentar Terbaru