Oleh : Yupiter Sulifan, Guru BK Smanita
Dalam dunia pendidikan menengah atas di Indonesia, sistem penjurusan pernah menjadi ciri khas utama yang membagi siswa ke dalam tiga kelompok besar: Ilmu Pengetahuan Alam (IPA), Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS), dan Bahasa. Namun, dalam beberapa tahun terakhir, kebijakan pendidikan mulai bergeser menuju pendekatan yang lebih fleksibel dan holistik melalui Kurikulum Merdeka.
Kini, wacana untuk mengembalikan sistem penjurusan kembali mencuat. Pertanyaannya: apakah langkah ini akan membawa dampak positif atau justru menjadi langkah mundur dalam dunia pendidikan Indonesia?
Dari sudut pandang efisiensi pembelajaran dan spesialisasi, penjurusan memiliki keunggulan tersendiri. Siswa yang sejak awal memiliki minat kuat pada sains, sosial, atau bahasa akan lebih fokus mendalami materi yang relevan dengan jalur pilihannya. Hal ini memungkinkan terciptanya pendalaman materi yang lebih maksimal dan efektif. Misalnya, siswa yang ingin menjadi dokter tentu akan lebih terbantu dengan pemfokusan pada mata pelajaran seperti Biologi dan Kimia dalam jurusan IPA. Begitu pula siswa yang ingin meniti karier sebagai diplomat atau penulis akan lebih tepat jika dibekali materi mendalam dalam jurusan Bahasa atau IPS.
Selain itu, penjurusan memberikan arah yang lebih jelas dalam perencanaan karier dan pendidikan lanjutan. Siswa tidak lagi perlu mempelajari semua bidang secara merata, melainkan diarahkan sesuai bakat dan minatnya. Ini bisa mengurangi stres akademik dan membuat siswa lebih percaya diri dalam membangun masa depannya.
Namun, di balik kelebihannya, sistem penjurusan juga menyimpan sejumlah tantangan. Salah satu dampak negatif yang paling sering terjadi adalah munculnya stereotip dan diskriminasi akademik. Di lingkungan sekolah maupun masyarakat umum, sering kali muncul anggapan bahwa siswa IPA lebih pintar dibandingkan siswa IPS atau Bahasa. Padahal, ketiga jalur tersebut memiliki keunikan dan kompleksitas masing-masing yang sama pentingnya bagi pembangunan bangsa.
Lebih dari itu, penjurusan yang dilakukan terlalu awal bisa membuat siswa terjebak pada pilihan yang belum tentu sesuai dengan potensinya. Banyak siswa usia SMA yang belum benar-benar mengenali minat dan bakatnya secara utuh. Akibatnya, ada kemungkinan besar siswa merasa menyesal di kemudian hari karena salah memilih jurusan. Hal ini tentu bisa berdampak buruk terhadap motivasi belajar dan prestasi akademik mereka.
Kurikulum Merdeka hadir sebagai alternatif dari sistem penjurusan dengan memberi kebebasan kepada siswa untuk memilih mata pelajaran lintas bidang. Siswa tidak lagi dibatasi dalam satu paket jurusan, melainkan bisa merancang sendiri jalur belajarnya sesuai minat, potensi, dan cita-cita. Ini menjadi angin segar dalam dunia pendidikan, karena siswa lebih diberdayakan untuk menjadi subjek dalam proses belajarnya.
Jika penjurusan kembali diterapkan apalagi dengan penerapan secara kaku, dikhawatirkan akan menghambat semangat Kurikulum Merdeka yang mengedepankan personalisasi pembelajaran. Padahal, di era saat ini, kolaborasi antardisiplin ilmu sangat penting. Dunia kerja pun kini tidak lagi terkotak-kotak dalam satu bidang saja. Misalnya, seorang data analyst perlu memahami matematika (IPA), ekonomi (IPS), dan kemampuan berkomunikasi yang baik (Bahasa).
Untuk itu, jika wacana pengembalian sistem penjurusan benar-benar akan diwujudkan, perlu dilakukan dengan cara yang lebih adaptif. Misalnya, penjurusan dilakukan secara fleksibel di tahun kedua atau ketiga masa SMA, setelah siswa mendapat kesempatan mengeksplorasi semua bidang terlebih dahulu. Selain itu, perlu diberikan layanan bimbingan karier dan konseling akademik yang intensif agar siswa dapat membuat keputusan yang tepat.
Mengembalikan sistem penjurusan IPA, IPS, dan Bahasa bukanlah sebuah kesalahan, namun bukan pula satu-satunya jalan keluar dalam menjawab kebutuhan pendidikan saat ini. Penjurusan dapat menjadi solusi jika diiringi dengan fleksibilitas, pendampingan yang kuat, dan tidak menghapus semangat Kurikulum Merdeka terutama tujuan pendidikan nasional. Pendidikan masa depan menuntut pendekatan yang adaptif, interdisipliner, dan berpusat pada potensi individu siswa.
Oleh karena itu, sebelum benar-benar memutuskan untuk kembali ke sistem lama, mari kita kaji secara mendalam semua dampaknya, baik secara akademis, psikologis, maupun sosial. Yang terpenting adalah bagaimana kita memastikan bahwa setiap anak Indonesia bisa berkembang secara optimal sesuai bakat minatnya masing-masing, tanpa merasa dikotakkan atau dibatasi oleh sistem yang seharusnya membebaskan mereka untuk membangun cita-cita dan berkreasi. Semoga.
Komentar Terbaru